Thursday, March 3, 2011

Senja

Senja adalah semacam
perpisahan yang mengesankan.
Cahaya emas berkilatan pada
kaca jendela gedung-gedung
bertingkat, bagai disapu kuas
keindahan raksasa. Awan
gemawan menyisih, seperti
digerakkan tangan-tangan dewa.
Cahaya kuning matahari melesat-
lesat. Membias pada gerak
jalanan yang mendadak berubah
bagai tarian. Membias pada
papan-papan reklame. Membias
pada percik gerimis dari air
mancur. Membias diantara
keunguan mega-mega. Maka
langit bagaikan lukisan sang
waktu, bagaikan gerak sang
ruang, yang segera hilang.
Cahaya kuning senja yang makin
lama makin jingga menyiram
jalanan, menyiran segenap
perasaan yang merasa diri
celaka. Mengapa tak berhenti
sejenak dari upacara kehidupan?
Cahaya melesat-lesat, membias,
dan membelai rambut seorang
wanita yang melambai tertiup
angin dan dari balik rambut itu
mengertap cahaya anting-anting
panjang yang tak terlalu
gemerlapan dan tak terlalu
menyilaukan sehingga bisa
ditatap bagai menatap semacam
keindahan yang segera hilang,
seperti kebahagiaan.
Langit senja bermain di kaca-
kaca mobil dan kaca-kaca etalase
toko. Lampu-lampu jalanan
menyala. Angin mengeras. Senja
bermain diatas kampung-
kampung. Diatas genting-
genting. Diatas daun-daun.
Mengendap ke jalanan.
Mengendap ke comberan.
Genangan air comberan yang tak
pernah bergerak
memperlihatkan langit senja
yang sedang bermain.
Ada sisa layang-layang dilangit,
bertarung dalam kekelaman. Ada
yang sia-sia mencoba bercermin
di kaca spion sepeda motornya.
Ada musik dangdut yang
mengentak dari warung. Babu-
babu menggendong bayi di balik
pagar. Langit makin jingga,
makin ungu. Cahaya keemasan
berubah jadi keremangan.
Keremangan berubah jadi
kegelapan. Bola matahari
tenggelam di cakrawala, jauh,
jauh diluar kota. Dan kota tinggal
kekelaman yang riang dalam
kegenitan cahaya listrik. Dan
begitulah hari –hari berlalu.
Lampu-lampu kendaraan yang
lalu-lalang membentuk untaian
cahaya putih yang panjang dan
cahaya merah yang juga
panjang. Wajah anak-anak
penjual Koran dan majalah di
lampu merah pun menggelap.
Mereka menawarkan Koran sore
dan majalah ke tiap jendela mobil
yang berhenti. Bintang-bintang
mengintip dilangit yang bersih.
Seorang wanita, entah dimana,
menyapukan lipstik ke bibirnya.
Malam telah turun di Jakarta.
Dimeja sebuah bar, yang agak
terlalu tinggi, aku menulis sajak
tentang cinta.

No comments:

Post a Comment